Jumaat, 7 Oktober 2016

Berjabat Tangan Selepas Solat Berjemaah

Berjabat Tangan Seusai Shalat


Tanya : Saya melihat sebagian jama’ah di masjid kita ini enggan berjabat tangan seusai shalat berjama’ah sebagaimana lazimnya kaum muslimin yang lain. Bukankah orang tersebut menyelisihi sunnah Rasul ? Bukankah dengan berjabat tangan ini dapat menggugurkan dosa ? Dan apakah ini termasuk dari tanda kesombongan orang tersebut ?
Jawab : Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu telaahan cermat untuk mendudukkan perkara ini sehingga tidak menimbulkan praduga berlebihan terhadap sesama muslimin. Dan yang lebih penting lagi adalah, mendudukkan perkara ini dengan timbangan syari’at yang benar sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para ulama setelahnya.
Benar apa yang dikatakan oleh Penanya bahwasannya jabat tangan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan muslim lainnya (dengan ikhlash dan kecintaan) apabila bertemu akan menggugurkan dosa-dosanya. Hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إن المؤمن إذا لقي المؤمن فسلم عليه و أخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر
“Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” [Shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihahnomor 526, 2004, dan 2692].
Juga perkataan beliau dari Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu :
ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah” [Shahih, lihat Ash-Shahiihah nomor 525].
Dan lain-lain dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perintah dan keutamaan salam serta berjabat tangan ketika bertemu. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada contoh shahih dari Nabi, para shahabat, serta imam empat yang menjelaskan tentang disyari’atkannya berjabat tangan seusai shalat berjama’ah. Salam dan jabat tangan yang dicontohkan dalam riwayat (dalam konteks shalat berjama’ah di masjid) adalah ketika memasuki masjid dan terjadi pertemuan antara seseorang dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam riwayat :
عن عبد الله بن عمر يقول : خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى قباء يصلي فيه قال فجاءته الأنصار فسلموا عليه وهو يصلي قال فقلت لبلال كيف رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون عليه وهو يصلي قال يقول هكذا وبسط كفه وبسط جعفر بن عون كفه وجعل بطنه أسفل وجعل ظهره إلى فوق
Dari ’Abdillah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam keluar menuju Masjid Quba’ dan melakukan shalat di dalamnya. Maka datanglah sekelompok shahabat Anshar mendatangi beliau dan mereka mengucapkan salam ketika beliau sedang shalat”. Maka aku (Ibnu ’Umar) berkata kepada Bilaal : ”Bagaimana engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab salam mereka padahal ketika itu beliau sedang shalat ?”. Maka Bilal menjawab : ”Seperti ini”. Bilal membuka telapak tangannya. Ja’far bin ’Aun (perawi hadits ini - menjelaskan apa yang dijelaskan oleh Bilaal dengan mempraktekkan) membuka telapak tangannya dengan cara menjadikan telapak tangannya menhadap ke bawah, dan punggung telapak tangannya menghadap atas” [HR. Abu Dawud no. 927; shahih].[1]
Juga sebagaimana kisah Ka’b bin Malik yang masyhur dimana ia menceritakan :
.....حَتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ حَوْلَه النَّاسُ ، فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ رضي الله عنه يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَني وَهَنَّأَنِي.....
”....Hingga ketika aku masuk masjid, ternyata Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk dikerumuni oleh orang-orang. Maka berdirilah Thalhah bin ’Ubaidillah radliyallaahu ’anhu berlari-lari kecil untuk menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku...” [HR. Bukhari no. 4156 dan Muslim no. 2769].
Bahkan, membiasakan diri (melazimkan) berjabat tangan seusai shalat termasuk bid’ah yang tercela. Sebagai penguat pernyataan ini, akan kami bawakan beberapa perkataan para ulama madzhab terkait hal tersebut.
ULAMA MADZHAB HANAFIYYAH
  1. Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (6/381) berkata :
    لكن قد يقال إن المواظبة عليها بعد صلوات خمسة قد يؤدي الجهلة إلى اعتقاد سنيتها في خصوص هذا المواضع وأن لها خصوصية زائدة على غيرها مع أن ظاهر كلامهم أنه لم يفعلها أحد من السلف في هذه المواضع وكذا قالوا بسنية قراءة السورة الثلاثة في الوتر مع الترك أحيانا لئلا يعتقد وجوبها ونقل في {تبيين المحارم} عن {الملتقط} أنه تكره المصاحفة بعد أداء الصلاة بكل حال لأن الصحابة ما صافحوا بعد أداء الصلاة ولأنها من سنن الروافض
    “Akan tetapi, dapatlah dikatakan bahwa menjadikan hal itu sebagai rutinitas [2] yang dilakukan setelah selesai shalat yang lima waktu (itu merupakan satu kesalahan), sebab nanti orang-orang awam akan meyakini perbuatan itu sebagai suatu amalan yang sunnah yang biasa dilakukan pada tempat-tempat tersebut. Dan mereka juga akan meyakini bahwa perbuatan tersebut memiliki kelebihan tertentu dibandingkan amalan-amalan lainnya. Padahal mereka jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari kaum salaf pada tempat-tempat tersebut (yaitu jabat tangan seusai shalat). Begitulah juga ketika mereka menyatakan sunnahnya bagi kita untuk membaca tiga macam surat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas di dalam raka’at terakhir pada) shalat witir, bersamaan dengan itu mereka juga menganjurkan untuk meninggalkannya sesekali waktu, agar hal tersebut tidak dianggap wajib hukumnya. Dan telah dinukil dalam kitab Tabyiinil-Mahaarim dari Al-Multaqith; tentang pendapatdibencinya berjabat tangan setelah selesai shalat dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal itu disebabkan para shahabat tidaklah berbuat hal tersebut, dan hal itu merupakan sunnahnya kaum Rafidlah” ( = yaitu sebuah kelompok sesat).
  2. Syaikh Mullah Ali Al-Qari Al-Hanafy telah berkata :
    فأين هذا من السنة ؟ ولهذا صرح بعض علمائنا بأنها مكروهة حينئذ، وأنها من البدع المذمومة
    “Dimana posisi perbuatan ini dalam sunnah yang disyari’atkan (baca : Mana dalil tentang sunnahnya perbuatan ini – yaitu berjabat tangan seusai shalat) ? Untuk itulah, maka sebagian ulama kami telah memakruhkannya (membencinya) bila dilakukan pada saat tersebut (yaitu seusai shalat), dan hal tersebut termasuk perbuatanbid’ah yang tercela” [lihat kitab Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury].
  3. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury berkata setelah menukil perkataan Al-Qaariy dan Al-Hafidh Ibnu Hajar :
    الأمر كما قال القاري والحافظ
    ”Perkaranya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Qaariy dan Al-Haafidh”[3] [Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury].
ULAMA MADZHAB MALIKIYYAH
Imam Ibnul-Hajj Al-Maliki berkata dalam kitabnya Al-Madkhal (2/219) :
وينبغي له أن يمنع ما أحد ثوه من المصافحة بعد الصلاة الصبح وبعد الصلاة العصر وبعد الصلاة الجمعة، بل زاد بعضهم في هذا الوقت فعل ذلك بعد الصلوات الخمس، وذلك كله من البدع، وموضوع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في ءدبار الصلوات، فحيث وضعها الشرع نضعها، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله لما أتى به من خلاف السنة.
“Dan patut baginya untuk melarang untuk melarang manusia dari melakukan apa yang telah mereka ada-adakan (dalam agama ini dengan) berjabat tangan setelah selesai shalat ‘Asar, shalat Shubuh, dan shalat Jum’at. Dan bahkan pada saat ini mereka juga telah melakukannya pula setelah shalat yang lima waktu. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah (yang terlarang)Adapun tempat yang benar (yang telah dibenarkan dalam agama) untuk melakukan jabat tangan itu adalah di saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya (yang muslim). Bukannya di setiap selesai dari shalat. Ketika agama ini mengajarkan kita demikian, maka hendaklah kita cukup mengikutinya saja (tanpa menambah-nambah). Maka wajib untuk melarang mereka dari berbuat hal tersebut. Dan hendaklah orang yang berbuat hal itu dicela lantaran apa yang telah ia perbuat menyelisihi sunnah” [lihat juga kitab Tahiyyatus-Salaam fil-Islaam 2/842].
ULAMA MADZHAB SYAFI’YYAH
  1. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
    إنها بدعة مكروهة لا أصل لها فى الشرع وإنه ينبه فاعلها أولا ويعزر ثانيا
    “(Perbuatan seperti itu – yaitu berjabat tangan setelah shalat) termasuk perbuatan bid’ah yang dibenci. Tidak ada asal-usulnya dalam agama ini. Dan wajib bagi setiap orang yang melakukannya untuk diperingati dalam kali yang pertama dan dihukum ta’zir pada kali yang kedua” [lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/381].
    Beliau juga berkata :
    اللذي دلت عليه صرائح السنة، وصرح به النووي وغيره أنه حيث وجد تلاقي بين اثنين سن لكل منهما أن يتصافح الاخر، وحيث لم يوجد ذلك بأن ضمهما نحو مجلس ولم يتفرقا لا تسن، سواء في ذلك المصافحة التي تفعل عقب الصلاة، ولو يوم العيد، أو الدرس، أو غيرهما، بل متى وجد منهما تلاق، ولو بحيلولة شيء بين اثنين بحيث يقطع أحدهما عن الاخر سنت، وإلا تُسَن
    “Yang telah ditunjuki dengan jelas oleh dalil-dalil sunnah, dan juga yang telah diungkapkan secara jelas oleh An-Nawawi dan yang lainnya adalah bahwa ketika terjadi pertemuan antara dua orang (muslim), maka disunnahkan atas setiap dari mereka untuk menjabat tangan saudaranya itu. Dan ketika hal itu tidak terjadi (yaitu pertemuan antara dua orang muslim) seperti berkumpulnya mereka dalam satu majelis dan tidak berpisah di antara mereka, maka tidaklah disunnahkan. Sama halnya dengan ini semua adalah (apa yang biasa diperbuat oleh kebanyakan orang) yang berjabat tangan seusai shalat, walaupun itu adalah shalat ‘Ied, atau juga (pertemuan untuk) pelajaran, ataupun juga hal-hal yang selain dari keduanya, bahkan kapan saja terjadi pertemuan antara keduanya,…. ketika ada kemungkinan perpisahan antara keduanya, maka hal itu disunnahkan. Sebaliknya, ketika tidak ada kemungkinan itu, maka tidak disunnahkan” [Al-Fataawaa Al-Kubraa 4/245].
  2. Imam Al-‘Izz bin Abdis-Salaam mencela perbuatan ini dengan perkataannya :
    المصافحة عقب الصبح والعصر من البِدّع ، إلا لقادمٍ يجتمع بمن يصافحه قبل الصلاة ، فإن المصافحة مشروعة عند القدوم ، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي بعد الصّلاة بالأذكار المشروعة ، ويستغفر ثلاثاً ، ثم ينصرف !! وروي أنه قال : ((ربّ قٍني عذابك يوم تبعث عبادك)) والخير في إتباع الرسول
    ”Berjabat tangan seusai shalat Shubuh dan ’Asar termasuk perbuatan bid’ah. Kecuali bagi orang yang baru datang dalam sebuah majelis lalu ia berjabat tangan dengan orang lain sebelum shalat. Sebenarnya, berjabat tangan merupakan hal yang disyari’atkan ketika seseorang baru datang. Adalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika shalat usai, beliau melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan, beristighfar tiga kali, kemudian setelah itu beliau baru menyingkir. Dan telah diriwayatkan bahwasannya beliau berdoa : ”Wahai Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan semua hamba-Mu”. Dan segala kebaikan hanyalah ada pada sikap itiiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam[4] ” [Fataawaa Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam hal. 46-47]. [5]
  3. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari) telah menyangkal orang yang memperbolehkan perbuatan itu dalam Fathul-Baari (12/324).
ULAMA MADZHAB HANABILAH
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab Majmu’ Fataawaa-nya (23/339) :
وسئل عن المصافحة عقيب الصلاة، هل هي سنة أم لا ؟
فأجاب : الحمد لله المصعفحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة والله أعلم
Beliau ditanya tentang (hukum) berjabat tangan setelah selesai shalat : “Apakah perbuatan ini termasuk Sunnah atau bukan ?”
Kemudian beliau menjawab : “Alhamdulillah,…. berjabat tangan setelah selesai shalat itu bukanlah termasuk perbuatan yang disunnahkan. Akan tetapi hal itu termasuk perbuatan 
bid’ah. Allaahu a’lam”.
ULAMA MASA KINI
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ (Komisi Tetap Riset/Pembahasan dan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya hal sebagai berikut :
ما حكم المصافحة للمصلي والسلام على الإمام وعلى صاحب اليمين وصاحب اليسار ؟
“Apakah hukumnya berjabat tangan kepada seseorang yang telah selesai dari shalat dan mengucapkan salam kepada imam serta kepada orang-orang yang berada di samping kanan dan kirinya ?”
Maka mereka menjawab sebagai berikut :
إن لم يكن صافحه عند لقائه إياه قبل الصلاة صافحه بعد السلام منها، سواء كانت فريضة أم نفلا وسواء كا عن يمينِه أو يساره لكن يكون في الفريضة بعد الأذكار المشروعة بعدها، أما السلام المأمومين على الإمام بعد الفراغ من الصلاة فلا نعلم أنه ورد فيه شيء خاص به
“Apabila orang itu belum berjabat tangan ketika bertemu dengannya sebelum dia shalat, maka dia boleh untuk menjabat tangannya setelah dia salam, baik shalat yang wajib maupun sunat/nafilah, baik jama’ah yang ada di kiri maupun di kanannya. Dan apabila setelah shalat wajib, maka dia melaksanakan itu (yaitu berjabat tangan) adalah waktu selesai dzikir setelah selesai shalat. Adapun perbuatan makmum yang menyampaikan salam kepada imam setelah selesai dari shalat, maka kami belum mengetahui adanya sesuatupun (dalil) yang khusus (menerangkan) hal itu” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no. 3866].
Abul-Hasan Abdul-Hay Al-Luknawy (seorang fuqaahaa dan ahli hadits dari negeri India) berkata :
قد شاع في عصرنا هذا ، في أكثر البلاد ، وخصوصاً في بلاد الدكن ، التي هي منبع البدع والفتن ، أمران ، ينبغي تركهما :
أحدهما : أنهم لا يسلّمون عند دخول المسجد ، وقت صلاة الفجر ، بل يدخلون ويصلون السنّة ، ثم يصلّون الفرض ، ويسلّمون بعضهم على بعض بعد الفراغ منه ، ومن توابعه ، وهذا أمر قبيح ، فإن السلام إنما هو سنّة عند الملاقاة ، كما ثبت ذلك في الأخبار ، لا في أثناء المجالسة .
وثانيهما : أنهم يصافحون بعد الفراغ من صلاة الفجر والعصر ، وصلاة العيدين والجمعة ، مع أن مشروعية المصافحة أيضاً ، أنما هي عند أوّل الملاقاة
“Telah tersebar luas perbuatan bid’ah dan fitnah pada jaman kita sekarang ini di berbagai belahan negeri, yaitu dua hal yang sudah selayaknya patut untuk ditinggalkan :Pertama, bahwasannya mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk ke masjid pada waktu shalat Shubuh. Akan tetapi mereka langsung masuk begitu saja dan mengerjakan shalat sunnah. Baru setelah itu mereka mengerjakan shalat fardlu. Mereka malah mengucapkan salam kepada sesama mereka setelah shalat telah usai. Ini adalah perbuatan yang buruk/jelek. Sesungguhnya mengucapkan salam itu hanyalah disunnahkan ketika adanya perjumpaan, sebagaimana yang telah tetap hal itu dalam hadits. (Mengucapkan salam itu) bukan dilakukan di tengah-tengah majelis yang sedang berlangsung.Kedua, bahwasannya mereka berjabat tangan seusai shalat Shubuh, shalat ’Asar, shalat ’Iedain, dan shalat Jum’at dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyari’atkan. Padahal berjabat tangan itu hanyalah dilakukan di awal perjumpaan saja” [As-Si’aayah hal. 264].
Beliau menambahkan :
وممن منعه ابن حجر الهيتمي الشافعي وقطب الدين بن علاء الدين المكي الحنفي ، وجعله الفاضل الرومي في ((مجالس الأبرار)) من البدع الشنيعة ، حيث قال : المصافحة حسنة في حال الملاقاة ، وأما في غير حال الملاقاة ، مثل كونها عقب صلاة الجمعة والعيدين ، كما هو العادة في زماننا ، فالحديث سكت عنه ، فيبقى بلا دليل وقد تقرر في موضعه : أن ما لا دليل عليه مردود ، ولا يجوز التقليد فيه
”Di antara ulama yang melarang berjabat tangan seusai shalat adalah Ibnu Hajar Al-Haitamiy Asy-Syafi’iy dan Quthbuddin bin ’Alaauddin Al-Makkiy Al-Hanafiy. Adapun Al-Faadlil Ar-Ruumiy dalam kitab Majaalisul-Abraar mengklasifikasikannya sebagai perbuatan bid’ah yang keji, dimana ia berkata : ’Berjabat tangan itu adalah perbuatan yang baik ketika bertemu, Adapun jika dilakukan selain waktu tersebut, seperti berjabat tangan seusai shalat Jum’at dan ’Iedain sebagaimana yang menjadi tradisi pada jaman kita, tidak ada hadits yang menjelaskan/mengajarkan hal seperti itu. Maka tinggallah perbuatan tersebut (dilakukan) tanpa adanya dalil, hingga harus dikatakan pada pembahasan ini : Segala sesuatu yang tidak memiliki dalil, maka ia adalah tertolak dan tidak boleh untuk diikuti” [idem].
على أن الفقهاء من الحنيفّة والشافعيّة والمالكيّة صرحوا بكراهتها ، وكونها بدعة . قال في ((الملتقط)) : يكره المصافحة بعد الصّلاة بكل حال ، لأن الصحابة ما صافحوا بعد الصلاة ، ولأنها من سنن الروافض . وقال ابن حجر من علماء الشافعيّة : ما يفعله الناس من المصافحة عقيب الصلوات الخمس مكروهة ، لا أصل لها في الشرع
”Selain itu para fuqahaa dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah secara jelas membenci perbuatan tersebut dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah. Dan dikatakan dalam kitabAl-Multaqath : ’Berjabat tangan seusai shalat merupakan perbuatan yang dibenci dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan para shahabat tidaklah berjabat tangan seusai shalat. Justru hal tersebut merupakan perbuatan kaum Rafidlah. Telah berkata Ibnu Hajar dari kalangan ulama Syafi’iyyah : ’Apa yang dilakukan manusia dari perbuatan berjabat tangan seusai shalat lima waktu adalah perbuatan yang dibenci (makruh), tidak ada asalnya dalam syari’at” [idem].
Dan lain-lain dari perkataan para ulama.
Apa yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas adalah bahwa :
  1. Berjabat tangan disunnahkan pada saat bertemu.
  2. Tidak ada dalil khusus yang menyatakan disunnahkannya berjabat tangan setelah selesai shalat. Maka mengkhususkan dan membiasakan perbuatan itu termasuk bid’ah yang dicela menurut sebagian ulama atau termasuk perbuatan yang dibenci (makruh) menurut ulama yang lain..
  3. Berjabat tangan setelah selesai shalat diperbolehkan jika sebelumnya dua orang muslim tersebut belum bertemu dengan mengucapkan salam dan berjabat tangan (dengan tanpa menyengaja/rutinitas mengakhirkannya setelah shalat).
  4. Kebiasaan berjabat tangan seusai shalat yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin di masjid-masjid hendaknya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Itulah yang dapat kami jawab. Allaahu a’lam. [6]
Catatan kaki :
[1] Al-Qadli Ibnul-’Arabiy berkata :
قد تكون الإشارة في الصّلاة لردّ السلام ، لأمر ينزل بالصلاة ، وقد تكون في الحاجة تعرض للمصلي . فإن كانت لردّ السلام ، ففيها الآثار الصحيحة ، كفعل النبي صلى الله عليه وسلم في قُباء وغيره
”Memberikan isyarat ketika shalat pun dilakukan dilakukan untuk menjawab salam dikarenakan terjadi sesuatu pada waktu shalat itu. Hal itu (yaitu memberikan isyarat ketika shalat) dilakukan karena adanya keperluan yang menimpa orang yang shalat seperti halnya menjawab salam. (Hal itu adalah diperbolehkan). Banyak atsar shahih yang menerangkannya, seperti perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam masjid Quba’ dan beberapa tempat yang lainnya” [‘Aaridlatul-‘Ahwadzi 3/162].
Penjelasan yang semisal juga datang dari Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana terdapat dalam kitab Masaailul-Marwadzi hal. 22.
Sungguh sunnah ini telah banyak ditinggalkan oleh banyak kaum muslimin (kecuali yang dirahmati oleh Allah) !! Mereka ketika masuk ke masjid banyak yang tidak mengucapkan salam. Entah karena enggan atau malu. Dan jikalah ada yang mempraktekkan cara menjawab salam ketika shalat sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, niscaya mereka akan terheran-heran dan menduga yang tidak-tidak kepada saudaranya.
[2] Dalam teks asli memakai kata المواظبة yang mempunyai makna rutinitas (hal-hal yang dilakukan secara rutin/teratur).
[3] Yaitu beliau menyepakati perkataan Al-Qaariy dan Al-Haafidh tentang bathilnya pemutlakan pembagian bid’ah menjadi lima (yaitu bid’ah waajibahbid’ah muharramah,bid’ah makruuhahbid’ah mustahabbah, dan bid’ah mubaahah) dan bid’ahnya perbuatan berjabat tangan seusai shalat. Silakan lihat dalam referensi yang telah ditunjukkan.
[4] Kalimat ”dan segala kebaikan hanyalah ada pada sikap ittiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam” menunjukkan bahwa kata ”bid’ah” yang beliau maksudkan pada kalimat sebelumnya adalah bid’ah yang tercela.
[5] Perkataan Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam ini sungguh sangat ”menakjubkan”, karena beliau adalah salah satu fuqahaa Syafi’iyyah yang mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima (bid’ah wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah). Padahal tidak syakk (ragu) lagi bahwa klasifikasi beliau ini adalah klasifikasi yang aneh lagi bertentangan dengan dalil. Namun begitu, tentang masalah berjabat tangan seusai shalat ini beliau tidak mengkatagorikannya sebagai bid’ah hasanah sebagai pendapat umumnya masyarakat kita !
[6] Sebagai amanat ilmiah kami katakan bahwa, ada sebagian ulama lain yang membolehkan berjabat tangan seusai shalat, misalnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi :
واعلم أن هذه المصافحة مستحبّة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناسُ من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصلَ له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنّة
"Dan ketahuilah bahwasannya berjabat tangan itu merupakan perbuatan yang disunnahkan dalam setiap pertemuan. Adapun yang dilakukan manusia yang mereka berjabat tangan seusai shalat Shubuh dan ’Asar, maka hal itu tidak ada asalnya dalam syari’at. Akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan karena hukum asal dari berjabat tangan adalah sunnah” [Al-Adzkar hal. 171; Maktabah Al-Misykah].
Perkataan An-Nawawi ini perlu dicermati lebih lanjut karena ada tanaqudl di dalamnya. Di satu sisi beliau mengatakan bahwa perbuatan tersebut (yaitu membiasakan berjabat tangan seusai shalat itu tidak ada asalnya dalam syari’at), namun di sisi lain beliau mengatakan bahwa melakukannya adalah tidak mengapa dengan alasan hukum asal berjabat tangan adalah sunnah.
Sebagaimana telah dimafhumi dalam ketentuan syari’at bahwa segala sesuatu yang disunnahkan itu ada ketentuan dan aturannyanya. Jika demikian, apakah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika usai shalat pernah mencontohkan hal tersebut ? Apakah para shahabat pernah melakukan hal tersebut ? Juga para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in yang shalih ? Telah diketahui bersama bahwa mereka semua tidak pernah melakukannya. Jika saja perbuatan itu baik dalam kaca mata syari’at, tentu mereka telah mendahului kita dalam melakukan hal itu, sebab mereka adalah generasi terbaik dalam Islam yang sangat tamak akan kebaikan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu para shahabat), kemudian generasi setelahnya (yaitu tabi’in), dan setelahnya (atba’ut-tabi’in)” [HR. Bukhari no. 3451 – tartib maktabah sahab dan Muslim no. 2535; mutawatir].
Dan pada kenyataannya, akibat perbuatan tersebut banyak sekali orang awam yang tertipu sehingga mereka menganggapnya benar-benar merupakan perbuatan yang disunnahkan dalam syari’at (dan mempunyai dalil). Mereka mencintai orang yang melakukan perbuatan tersebut, dan sebaliknya membenci orang yang tidak melakukannya (dan bahkan mencelanya !!). Para ulama telah menetapkan beberapa kaidah dalam mementukan bid’ah sebagiannya tersebut di bawah ini :
  1. [إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة.]
    ”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan suatu ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut untuk dikerjakannya ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada; maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah” [Lihat Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim (2/591-597), Majmu’ Fataawaa (6/172), Al-I’tishaam (1/361), Al-Ibdaa’ lisy-Syaikh ’Ali Mahfudh (hal. 34-45].
  2. [كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا]
    ”Semua ibadah yang tidak dilakukan oleh As-Salafush-Shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka atau tidak pernah menyinggung masalah itu dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah itu adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah itu ada dan faktor penghalangnya tidak ada” [At-Targhiib min Shalaatir-Raghaaib Al-Maudluu’ah (hal. 9) dan Al-Baa’its ’alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits (hal. 47)].
  3. [كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة]
    ”Setiap ibadah mutlak yang telah tetap dalam syari’at dengan dalil umum, maka membatasi kemutlakan ibadah ini dengan waktu atau semacamnya sehingga memberikan anggapan bahwa pembatasan inilah yang diinginkan syari’at tanpa ada dalil umum yang menunjukkan terhadap pembatasan ini, maka ia adalah bid’ah” [Al-Baa’its (hal. 47-54), Al-I’tishaam (1/229-231, 249-252, 345, 346; 2/11) danAhkaamul-Janaaiz (hal. 242)].
  4. [إذا فُعل ما هو مطلوب شرعًا على وجه يُوهم خلاف ما هو عليه في الحقيقة فهو ملحق بالبدعة]
    ”Apabila sesuatu yang dituntut berdasarkan syari’at dikerjakan dengan cara yang menimbulkan anggapan hal yang berbeda dengan kenyataannya (apa yang sebenarnya), maka hal itu adalah bid’ah” [refernsi kaidah banyak dan tersebar dengan berbagai macam contohnya, sebagaimana yang ada pada kitab Al-Hawaadits wal-Bida’ (hal. 66), Al-I’tishaam (1/345-346; 2/22-32), Al-Baa’its (hal. 54), Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim (2/630), dan Al-Amru bil-Ittiba’ wan-Nahyu ’anil-Ibtida’ (hal. 180)].
  5. [إذا فُعل ما هو جائز شرعًا على وجه يُعتقد فيه أنه مطلوب شرعًا فهو ملحق بالبدعة]
    ”Jika sesuatu yang dalam syari’at hukumnya boleh lalu dikerjakan dengan keyakinan bahwa dalam dalam syari’at hukumnya mandub/dituntut (baik tuntutan wajib ataupun sunnah), maka hal itu dapat dikatagorikan sebagai bid’ah” [Al-I’tishaam(1/346-347; 2/109)].
Dan lain-lain (sengaja dipilih yang berkaitan dengan pembahasan) ---- adapun penjelasannya, maka tidak mungkin untuk dijabarkan di sini karena sangat panjang. [banyak diambil dari Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’ karya Muhammad bin Husain Al-Jizani hafidhahulah].
Oleh karena itu, apa yang dikemukakan oleh An-Nawawi dan beberapa ulama yang sepakat dengannya merupakan pendapat yang lemah (marjuh) dan telah mendapat kritikan dari para ulama lain karena bertentangan dengan dalil dan kaidah (silakan baca uraian Al-Mubarakfury dalam Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi).
NB : Jawaban dalam artikel ini banyak saya nukil dari buku Al-Ustadz Ibnu Saini :Hukum Berjabat Tangan dalam Syari'at Islam dengan penambahan lainnya (Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin, Tuhfatul-Ahwadzi, Qawaaidu Ma'rifatil-Bida', dan yang lainya.

Selasa, 2 Ogos 2016

Hukum membaca Al Qur’an disisi kuburan

Hukum membaca Al Qur’an disisi kuburan

Asy-Syaikh al-‘Allaamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah ditanya:
Pertanyaan :
Mana yang lebih utama : Membaca Al-Qur’an di kuburan ataukah mendo’akan kebaikan untuk orang meninggal di sisi kuburannya? Dan apa hukum membaca Al-Qur’an dalam kondisi itu?
Jawaban :
Membaca Al-Qur’an di sisi kuburan adalah bid’ah. Tidak berpahala bahkan berdosa karena tidak ada satupun dalil yang datang (menjelaskan) tentang hal itu.
Adapun mendo’akan kebaikan bagi si mayyit di sisi kuburnya maka hal ini disyari’atkan. (Yaitu) kamu menziarahi, mengucapkan salam, dan mendo’akan kebaikan baginya. Atau setelah pemakaman kamu berdiri di sisi kuburnya dan memohon ampunan baginya serta meminta kepada Allah untuk ia dikokohkan (dalam menghadapi fitnah (ujian) kubur).
Hal ini datang (dalil dari syari’at) seluruhnya. Tidak mengapa berdo’a untuk si mayyit di sisi kuburnya. Perkara ini ada syari’atnya.
ــــــــــــــــــــــــــــ
صيــد الفوائــد:
هل الأفضل قراءة القرآن على قبر الميت أم الدعاء له بالرحمة ؟
:idea:سُئل الشَّـيْخ العلّامة صـالحُ بنُ فَـوزان الـفَوزَان -حَـفظهُ الله-:
السُّـــــــؤَال ُ:
• أيهما أفضل قراءة القرآن على القبور أم الدعاء للميت عند قبره ، وما حكم قراءة القرآن في ذلك ؟
♻️ الجَــــــوَاب ُ:
قراءة القرآن عند القبور بدعة ليس فيها أجر بل فيها إثم لأنه لم يرد بذلك دليل أما الدعاء للميت عند القبر فهذا مشروع أن تزوره وأن تسلم عليه وأن تدعو له أو بعد الدفن تقف على قبره وتستغفر له وتسأل الله له التثبيت فهذا كله وارد لا بأس الدعاء للميت عند قبره هذا أمرٌ مشروع
ــــ
رابـط الصوتيــة :
http://cutt.us/LxKI (durasi 0:00:38)
Sumber: Channel Shaidul Fawaaid

Sabtu, 30 Julai 2016

Isteri Berzina

Jika isteri berzina dengan lelaki lain, wajib diceraikan suami atau tidak?




foto sekadar hiasan

Pertanyaan:

Apa hukumnya bila istri selingkuh, dan bagaimana kalau mau rujuk dan minta maaf sama suami?

Dari: Ir. Tanawali

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Seringkali dalam kasus perzinaan, yang lebih disalahkah adalah pihak lelaki. Padahal perempuan yang berzina, tidak lebih baik dari pada lelaki yang berzina. Terlebih ketika sudah menikah, dosa jauh lebih besar, karena Allah sudah memberikan pilihan yang halal untuknya.

Ketika seorang istri selingkuh, ulama memberikan rincian sebagai berikut,

Pertama, istri bertaubat dan sangat menyesali perbuatannya, bahkan dia berusaha meminta maaf kepada suaminya, mengubah cara pergaulannya dan cara berpakaiannya. Dia menjadi wanita yang dekat dengan Allah, menutup aurat dan menghindari pergaulan dengan lelaki yang bukan mahram.

Untuk kondisi ini, suami boleh mempertahankan istrinya dan tidak menceraikannya. Dengan dua syarat,
Suami harus siap memaafkan istrinya dan tidak mengungkit masa lalunya, setelah dia bertaubat.
Suami siap merahasiakan kasus istrinya dan tidak menceritakannya kepada siapapun.

Dengan sikap ini, insyaaAllah akan menjadi sumber pahala bagi suami, karena ini termasuk bentuk kesabaran.

Pernyataan kami ‘suami boleh mempertahankan istrinya’ artinya bukan kewajiban. Suami bisa mempertimbangkan dampak baik dan buruknya, untuk menentukan pilihan, cerai ataukah dipertahankan. (Fatwa Islam, no. 162851)

Ada sebagian suami yang tak kuasa menceraikan istrinya, namun sangat sulit baginya memaafkan perselingkuhan yang dilakukan istrinya. Sehingga yang terjadi, suami hanya bisa marah dan marah, bahkan menzalimi istrinya. Dalam kondisi ini, pilihan cerai insyaaAllah lebih baik, dari pada mempertahankan istrinya, agar tidak menimbulkan perbuatan maksiat yang baru.

Kedua, sang istri belum bertaubat dan tidak menunjukkan penyesalan, bahkan pergaulannya masih bebas seperti sebelumnya, meskipun bia jadi dia hanya meminta maaf kepada suaminya.

Untuk kondisi ini, ulama berbeda pendapat, apakah suami wajib menceraikan istrinya atakah boleh mempertahankannya.

Pendapat pertama, suami boleh mempertahankannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dr. Muhammad Ali Farkus mengatakan,

فالمعلوم شرعا أنّ زنى أحـــد الزوجين يوجب الرجم، لكنّه إذا انتفى بانـتـفاء شروطه فلا ينفسخ النـكاح بزنا أحدهما ولا يوجب فسخه سـواء قبل الدخول أو بعده عند عامة أهل العلم

“Seperti yang telah dipahami dalam aturan syariat, bahwa zina yang dilakukan salah satu diantara suami istri, menjadi sebab ditegakkannya hukum rajam. Namun jika hukuman ini tidak bisa ditegakkan, karena persyaratan untuk itu tidak terpenuhi, ikatan nikah tidak difasakh (dibubarkan) disebabkan zina yang dilakukan salah satunya. Dan tidak wajib difasakh, baik kasus zina itu terjadi sebelum hubungan badan atau sesudahnya, menurut pendapat mayoritas ulama.” (http://www.ferkous.com)

Pendapat kedua, suami tidak boleh mempertahankan istrinya dan harus menceraikannya. Karena ketika sang suami mempertahankan istrinya, dia dianggap tidak memiliki rasa cemburu, dan tergolong suami dayuts. Dan sikap ini termasuk dosa besar.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ ، وَالدَّيُّوثُ

“Tiga orang yang tidak akan Allah lihat mereka pada hari kiamat: Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita tomboi, dan lelaki dayuts.” (HR. Ahmad 5372, Nasai 2562, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth).

Dalam Musnad Imam Ahmad terdapat penjelasan siapakah Dayuts,

وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Lelaki dayuts yang membiarkan perbuatan keji pada keluarganya.” (Musnad Ahmad no. 6113).

Syaikhul Islam pernah ditanya: ada seorang suami yang masuk rumahnya, tiba-tiba dia memergoki istrinya sedang bersama lelaki yang bukan mahram. Apa yang harus dilakukan si suami?

Jawaban Syaikhul Islam,

في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم {أن الله سبحانه وتعالى لما خلق الجنة قال: وعزتي وجلالي لا يدخلك بخيل ولا كذاب ولا ديوث} ” والديوث ” الذي لا غيرة له. وفي الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن المؤمن يغار وإن الله يغار وغيرة الله أن يأتي العبد ما حرم عليه}

Dalam hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwa Allah ta’ala ketika menciptakan surga, Dia berfirman: ‘Demi keagungan dan kebesaran-Ku, tidak akan ada yang bisa memasukimu (surga), orang yang bakhil, pendusta, dan dayuts.” Dayuts adalah orang yang tidak memiliki rasa cemburu. Dalam hadis shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin memliki rasa cemburu, dan Allah juga cemburu. Cemburunya Allah adalah ketika ada seorang hamba melakukan apa yang Dia haramkan untuknya.”

Kemudian Syaikhul Islam melanjutkan penjelasannya,

وقد قال تعالى: {الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين} . ولهذا كان الصحيح من قولي العلماء: أن الزانية لا يجوز تزوجها إلا بعد التوبة وكذلك إذا كانت المرأة تزني لم يكن له أن يمسكها على تلك الحال بل يفارقها وإلا كان ديوثا

“Dan Allah telah berfirman:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Lelaki yang berzina tidak boleh menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (QS. An-Nur: 3).

Oleh karena itu, pendapat yang kuat di antara pendapat ulama, bahwa wanita pezina, tidak boleh dinikahi kecuali setelah dia bertaubat. Demikian pula ketika seorang istri berzina, tidak boleh bagi sang suami untuk tetap mempertahankannya, selama dia belum bertaubat dari zina, dan dia harus menceraikannya. Jika tidak, dia termasuk dayuts.”

(Majmu’ Fatawa, 32/141).

Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari tipuan Iblis yang membinasakan. Amin