Selasa, 8 Mac 2016

Solat Gerhana Matahari

Tatacara Pelaksanaan Shalat Gerhana

Oleh : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc hafidzahullah
Berikut ini beberapa hal terkait dengan tata cara shalat gerhana.
Panggilan untuk Shalat Gerhana
Tidak ada azan dan iqamah untuk shalat gerhana. Yang ada ialah panggilan, “Ash-shalatu jami’ah.”
Hal ini sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma yang mengatakan, “Ketika terjadi gerhana matahari (pada zaman Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), diserukan, ‘Ash-shalatu jami’ah’.”
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan Shalat Gerhana:
Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilaksanakan dua rakaat. Perbedaannya dengan shalat yang lain, setiap rakaat shalat gerhana terdapat dua rukuk. Jadi, dua rakaat shalat gerhana memiliki empat rukuk.
Rincian cara shalatnya adalah seperti tata cara shalat biasa. Hanya saja, setelah membaca surat kemudian rukuk dan bangkit dari rukuk, membaca sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu (sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang muttafaqun alaih), dilanjutkan membaca al-Fatihah dan surat lagi.
Disyariatkan berdiri dan rukuk pertama lebih lama daripada yang kedua. Setelah selesai bacaan kedua, dia rukuk kembali, bangkit, membaca sami’allahu liman hamidah rabbanawalakal hamdu, dan i’tidal. Setelah itu dilanjutkan sebagaimana biasa. Demikian pula pada rakaat kedua.
️Apabila Tertinggal Satu Ruku’
Satu rakaat dalam shalat gerhana ada dua kali rukuk. Apabila tertinggal satu rukuk, dia harus menambah satu rakaat lagi.
Demikian yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah dalam kitab Bughyatul Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’.
️Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gerhana dengan bacaan yang panjang
Nabi memperpanjang bacaan tersebut sampai hilang gerhana itu. Meski demikian, untuk bacaan yang panjang seperti itu, perlu memerhatikan keadaan makmum. Wallahu a’lam.
Seandainya shalat telah selesai sementara gerhana belum hilang, perbanyaklah membaca zikir, tahlil, dan zikir sejenisnya. Bisa pula diulangi kembali shalatnya, sebagaimana penjelasan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
️Bacaan pada shalat gerhana dilakukan dengan suara keras (jahr) meski pada siang hari
Hal ini sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang melakukan shalat karena gerhana matahari. Begitu pula pada malam hari ketika terjadi gerhana bulan, bacaan shalat gerhana dilakukan dengan jahr (keras).
️Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah di Masjid
Tentu saja hal ini juga boleh dilakukan oleh jamaah wanita. Di masa para sahabat, kaum wanita mengikuti shalat gerhana.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari mengatakan, “Jika imam rawatib tidak datang, salah seorang yang hadir menjadi imam.”
Apabila tidak ada seorang pun yang bisa diajak berjamaah, dia diperbolehkan melakukan shalat gerhana sendirian. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
Shalat gerhana dilakukan kapan saja saat terjadi gerhana
Shalat gerhana boleh dilakukan meski di akhir siang atau di akhir malam, asalkan saat itu terjadi gerhana.
Dinukil dari http://goo.gl/NhW5o0

Khamis, 3 Mac 2016

Mengusap Muka Setelah Berdoa

Mengusap Muka Setelah Berdoa

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata :
Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo’a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya? Risalah ini insya Allah akan menjelaskan tentang lemahnya hadits-hadits mengenai mengusap wajah.
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir (7/12/2). Dengan sanad :Hammaad ibn ‘Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn ‘Abdullah dari bapaknya dari ‘Umar ibn al-Khatthab.
At Tirmidzi berkata : “Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.”
Bagaimanapun juga hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya dalam At Tahdzib : “Ibnu Ma’in berkata:’Dia adalah Syaikh yang baik’, Abu Hatim berkata:’Lemah didalam (meriwayatkan) hadits’, Abu Dawud berkata:’Lemah, dia meriwayatkanhadits-hadits munkar’.
Hakim dan Naqash berkata:’Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq’, Dia dinyatakan lemah oleh Ad Daraquthni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula berkata:’mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits lemah'”.
Terdapat hadits yang sejenis dengan hadits 1: “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya” Hadits ini Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya.
Ini adalah hadits dha’if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi’ah (Taqribut Tahdzib).
Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.
2. “Jika kamu berdo’a kepada Allah,kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya,dan jika sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”.
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’).
Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, Sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al Bukhari dan Nasa’i,”Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits”; Ibnu Hibban berkata:”Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya”; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul ‘Ilal (2/351):”Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata:’Munkar’.”
Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah.
Ibnu Hibban berkata:”Dia meriwayatkan beberapa hadits,dan semuanya tertolak”. An Nasa’i berkata:”Dia tidak bisa dipercaya”.
Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b, dengan matan sebagai berikut : “Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu,dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya”.
Hadits ini sanadnya dha’if. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya’qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal – Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim (4/270) melalui jalur Muhammad ibn Mu’awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka’b al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu’awiyah dinyatakan kadzab oleh Daraquthni, Maka hadits ini adalah maudhu’.
Abu Dawud berkata tentang hadits ini:”hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka’b; semuanya tertolak.”
Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdoa terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur’an (Riwayat Ahmad (3/137) & AthThabarani Al-Mu’jamus-Shaghir (hal. 111) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwaytakan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada sholat Witir.
Namun mengusap muka sesudah du’a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabatnya, ini adalah bid’ah yang nyata.
Sedangkan mengusap muka setelah berdoa diluar sholat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan,seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut.
Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu ‘Abdus-Salaam yang berkata bahwa “hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini”.
Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo’a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo’a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengsuap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a’lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan.
Wallahu a’lam bish shawab
Sumber : Kitab Irwa’ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani

Rezeki

Sebab-sebab yang mendatangkan rezeki

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدي والدين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارا به وتوحيدا. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما مزيدا.  أما بعد: 
    Ikhwani fillah -hafidhokumulloh- kita mendengar saudara-saudara kita kaum muslimin berkata:” Orang yang keadaan seperti ini tidak mungkin akan hidup  tenang, bahagia, masa depan pun suram dan tidak mungkin akan hidup maju .” Yaitu orang yang tidak memiliki ijazah sekolah,titel yang tinggi atau pengalaman sekolah (umum). Hal ini menunjukkan lemahnya keimanan dan keyakinan bahwa Allah Maha Memberi rezeki, Dan bahwa rezeki setiap insan telah ditentukan dan ditulis.
    Allah subhanahu wata’ala lberfirman:
)ومامن دابة في الأرض إلا علىالله رزقها ويعلم مستقرهاومستودعها كل في كتاب مبين (
  “Dan tidak ada makhluk melatapun (bernyawa) di muka bumi melainkan Allahlah yang menjamin rezeki mereka. Dan Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfuzh)” .( Hud: 6)
    Allah ta’ala juga berfirman:
) الله يبسط الرزق لمن يشاء من عباده ويقدر له إن الله بكل شيء عليم (
“Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia pula yang membatasi baginya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (al ‘Ankabut: 62)
    Dan Rosulullah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin mas’ud, tentang fase penciptaan manusia didalam rahim ibunya :
“…kemudian Allah mengutus malaikat dan memerintahkan 4 perkara: untuk menuliskan rezekinya,ajalnya, amalannya, akan bahagia atau sengsara.”
   Rezeki setiap insan telah ditentukan dan ditulis. Seseorang tidak akan mati sampai mendapatkan rezeki yang telah ditentukan-Nya. Tinggal kita berusaha untuk mencari dan mengerjakan sebab-sebab yang halal untuk menggapainya.
   Akhi fillah, sebab untuk mendapatkan rezeki ada yang dhohir langsung diakui oleh akal dan tidak ada yang mengingkarinya yaitu berprofesi (bekerja). Syariat islam juga menghimbau dan mendorong kita untuk bekerja. Allah Ta’ala berfirman:
فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون(
“Apabila sholat telah dilaksanakan,maka bertebaranlah kamu di muka bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak agar kamu beruntung.” (Al Jumu’ah: 10)
Berkata Syaikh Abdurrohman As Sa’di:”…bertebaranlah di muka bumi untuk mencari usaha-usaha dan perdagangan.”
    Rosulullah pernah ditanya, usaha apa yang paling utama? Maka beliau menjawab:” Usaha seseorang yang ia kerjakan sendiri dan perniagaan yang jujur.”
    Dari sahabat Az Zubair ibnul Awwam bahwa Rasulullah bersabda:”sungguh seorang dari kalian pergi ke gunung dengan membawa seutas tali kemudian pulang membawa seikat kayu bakar dipunggungnya lalu menjualnya sehingga bisa mencegah dirinya (dari minta-minta) lebih baik dari pada minta-minta dikasih atau tidak.” HR. Imam Bukhori
    Dari sahabat Al Miqdam bin ma’dikarib bahwa Rosulullah bersabda:”tidak ada seorangpun yang makan suatu makanan yang lebih baik dari pada makan dari hasil usahanya sendiri, dan Nabi Allah dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” HR. Imam Bukhori
    Dan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rosulullah bersabda:”Nabi Zakariya adalah tukang kayu.” HR. Imam Muslim.
   Tapi ingat -akhi fillah- bahwa usaha itu hanya sebagai sebab saja, adapun yang menentukan hasilnya adalah Allah ta’ala. Jangan sampai engkau bergantung dengan sebab (usaha) tanpa meyakini bahwa Allahlah yang menentukannya.
   Disana ada sebab-sebab yang kebanyakan orang tidak tahu atau lalai darinya. Apabila seorang hamba melakukan sebab (amalan) tersebut pasti Allah Ta’ala menolong, membantu dan memberi rezeki kepadanya. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan didalam alqur’an dan juga RasulNya dalam sunnahnya. Kami akan menyebutkan sebagiannya.
1. Taqwa kepada Allah Ta’ala.
    Allah Ta’ala berfirman:
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزفه من حيث لا يحتسب(
Artinya:”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Ath Thalaq : 2,3)
   Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan memberikan rezeki kepada orang yang bertakwa. Dan ini umum baik orang tua atau muda, lelaki atau wanita, orang desa atau orang kota dan yang lainnya. Allah Ta’ala akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka- sangka.
2. Tawakal kepada Allah Ta’ala
    Sebagaimana yang Allah firmankan:
) و من يتوكل على الله فهو حسبه (
Artinya:” Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” ( Ath Thalaq: 3)
Rosulullah juga bersabda: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarnya, pasti Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana memberi rezeki kepada burung yang pergi dipagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” HR. Imam Ahmad, At Tirmidzi,An Nasai dan yang lainnya.
3. Istighfar (meminta  ampun) kepada Allah
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Nuh:
فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفارا. يرسل السماء عليكم مدوارا.  ويمددكم بأموال وبنين ويجعل لكم جنات ويجعل لكم أنهارا.  ()   
Artinya: Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlahy ampunan kepada Tuhan kalian, Sungguh, Dia Mahay Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepada kalian, memperbanyak harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untuk kalian.”
4. Menuntut Ilmu
    Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata:” Dulu dizaman An Nabi ada dua bersaudara, salah satunya selalu datang (belajar) kepada An Nabi dan yang kedua bekerja, yang bekerja pun mengeluhkan saudaranya kepada An Nabi maka Belau bersabda:” Mungkin saja kamu diberi rezeki karena sebab dia.” HR. At Tirmidzi.
5. Menyambung tali persaudaraan
    Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rosulullah bersabda:” Barangsiapa ingin diluaskan rezekinya maka sambunglah tali persaudaraan.” HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim.
6. Menikah
Allah Ta’ala berfirman:
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم (
Artinya: ” Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kalian, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan (kecukupan) kepada mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (An Nur: 32)
Syaik Abdurrohman As Sa’di berkata:”Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk menikah dan janji (Allah) bagi orang yang menikah untuk memberikan kecukupan setelah kefakiran.”
Rosulullah juga bersabda bahwa ada tiga golongan yang Allah Ta’ala pasti akan membantunya, salah satunya orang yang menikah untuk menjaga kesuciannya(kehormatannya).
    Ini yang bisa kami sebutkan dalam kesempatan ini. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Apabila ada kata yang kurang berkenan kami mohon maaf.
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه.
( Disarikan dari khutbah Syaikh Abdurrohman Al Mar’i Al ‘Adni dan sebagian durus Beliau)
Dikirim oleh Al-akh Abu Umar Saidan (salah satu thulab di Darul hadist Fuyus,Yaman)
Sumber : WA Salafy Lintas Negara

Ikhlas

Keikhlasan di dalam hati tidak dapat berkumpul dengan suka dipuji dan disanjung dan rakus terhadap yang ada pada manusia* kecuali seperti berkumpulnya air dan api, dhobb** dan ikan.
Maka apabila jiwamu membisikimu menginginkan keikhlasan, maka pertama kali hadapilah sifat rakus tersebut, hingga bunuhlah dengan menggunakan pisau keputus-asaan dan hadapilah pujian dan sanjungan, hingga bersikaplah merasa tidak perlu terhadap keduanya, seperti ketidak-perluan para pecinta dunia terhadap akhirat.
Sehingga apabila engkau bisa istiqomah di dalam membunuh kerakusan tersebut, dan (senantiasa) merasa tidak perlu terhadap pujian dan sanjungan, maka keikhlasan akan mudah bagimu.
Jika engkau bertanya:
“Dan apa yang bisa memudahkanku di dalam membunuh sifat rakus tersebut dan (memudahkanku untuk) merasa tidak perlu terhadap pujian dan sanjungan?”
Aku jawab:
Adapun membunuh sifat rakus tersebut, maka yang memudahkanmu padanya adalah pengetahuanmu yang penuh keyakinan bahwa tidak ada sesuatupun yang diharapkan kecuali perbendaharaannya hanya ada di Tangan Alloh saja, tidak ada selain-Nya yang memilikinya, dan tidak ada yang memberikannya kepada seorang hamba kecuali Dia.
Adapun sikap merasa tidak perlu terhadap pujian dan sanjungan, maka yang memudahkanmu padanya adalah pengetahuanmu bahwa tidak ada seorangpun yang pujiannya itu bermanfaat dan membuat semakin bagus, serta (tidak ada yang) celaannya itu membuat celaka dan membuat buruk, kecuali hanya Alloh saja.
Seperti yang dikatakan oleh seorang badui kepada Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh pujianku adalah penghias dan celaanku adalah memperburuk”.
Maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Yang demikian itu (hanyalah) Alloh -Azza wa Jalla-“.
Maka jadikan dirimu merasa tidak perlu kepada pujian orang-orang yang pujiannya tersebut tidaklah memperbagus dirimu, dan (merasalah tidak peduli kepada) celaan orang-orang yang celaannya tidaklah memperburuk dirimu. Dan berharaplah pujian (Alloh) yang semua keindahan ada pada pujian-Nya, dan yang semua keburukan ada pada celaan-Nya. Dan seseorang tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan sabar dan yakin.
Sehingga kapan saja engkau kehilangan sabar dan yakin, maka engkau akan seperti orang yang ingin bepergian jauh lewat lautan tanpa adanya kendaraan.
Alloh تعالى berfirman:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُون
“Maka bersabarlah, sungguh janji Alloh itu benar. Dan janganlah orang-orang yang tidak yakin itu menggelisahkanmu.”
Dan Alloh تعالى berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُون
“Dan Kami jadikan diantara mereka para pemimpin yang mereka itu memberikan petunjuk dengan perintah Kami, tatkala mereka bersabar dan yakin terhadap ayat-ayat Kami.”
[ Al-Fawaid hal. 219-220 ]
___________________________
* maksudnya: mengharapkan imbalan dari manusia. Dan makna inilah yang dimaksudkan dengan kata “rakus” pada kalimat-kalimat berikutnya. [ pent.]
** hewan padang pasir yang mirip biawak. [pent.]


Alih Bahasa: Ibnu Abi Humaidi حفظه الله

Tuntutan Agama

Beragamalah diatas dalil bukan dengan akal atau perasaan

Saudaraku…
Manusia dianugerahi akal dan perasaan oleh Allah. Akal dan perasaan itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, akal dan perasaan itu harus tunduk kepada dalil-dalil al-Quran dan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam yang shahih. Tidak boleh akal atau perasaan dikedepankan dalam menjalankan syariat Allah.
Jika telah ada dalil yang jelas dalam al-Quran dan hadits Nabi, maka tundukkan akal dan arahkan perasaan untuk patuh dan menurut kepada Allah dan RasulNya. Itu adalah sikap orang beriman dan dengan itu mereka mendapat keberuntungan.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hanyalah ucapan orang beriman itu jika diajak untuk berhukum dengan (aturan) Allah dan Rasul-Nya mereka berkata: kami mendengar dan kami taat. Mereka itu adalah orang-orang yang beruntung (Q.S anNuur ayat 51)
Setelah jelas dalilnya, orang beriman tidak akan mempertanyakan: Mengapa Allah melarang ini? Mengapa Rasul memerintahkan ini? Mengapa Allah tidak melarang yang ini saja dan memerintahkan yang ini saja? Bukankah ini baik, tapi mengapa Nabi melarangnya?
Itu tidak ada dalam kamus orang beriman. Kecuali bagi orang yang imannya lemah, pergaulannya dengan orang-orang tidak beriman sehingga terpengaruh, atau kaum munafik yang berbaju Islam, pertanyaan ketidakpuasan itu akan muncul pada dirinya.
Kalaupun dibahas, yang dibahas adalah hikmah di balik perintah dan larangan itu, dengan tetap meyakini seyakin-yakinnya bahwa setiap perintah dan larangan Allah pasti mengandung hikmah. Baik manusia mengetahui maupun tidak. Kalaupun manusia mengkaji hikmah di balik itu, ia tidak akan bisa menyingkap hikmah-hikmah lain yang sedemikian banyak yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Kebutuhan orang beriman adalah untuk mengetahui: Apa yang Allah perintahkan kepada kami? Apa yang Allah larang kepada kami? Bagaimana bimbingan Nabi dalam kondisi semacam ini? Kemudian mereka berusaha berbuat sesuai ilmu itu.
Itulah yang ditanyakan para Sahabat Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi adalah pertanyaan dengan niat untuk beramal. Bukan pertanyaannya orang Yahudi yang juga sering tanya kepada Nabi dengan tujuan untuk mengetes atau menguji. Kalau sudah tahu, cukup diketahui, tidak diamalkan. Karena itu mereka mendapat kemurkaan Allah.
Setelah jelas dalil bagi para Sahabat Nabi, mereka bersegera beramal dengan ilmunya itu. Mereka tidak akan mengedepankan akal dan perasaan mereka untuk menolak dalil yang sudah jelas.
Umar bin al-Khotthob radhiyallahu anhu pernah berkata kepada batu hitam (hajar aswad): “Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak bisa memberi manfaat dan menolak bahaya. Kalaulah aku tidak melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Umar berhasil mengalahkan akal dan perasaannya untuk menjadi pengikut Nabi yang sebenarnya. Padahal secara akal, untuk apa sih, batu kok dicium, apa manfaatnya apa tujuannya. Secara perasaan juga kadang kurang pas. Untuk apa cium batu.
Tapi karena sudah jelas dalilnya, maka Umar menjalankan itu. Dalilnya adalah Nabi pernah melakukannya. Cukup. Perbuatan Nabi adalah dalil. Ucapan Nabi adalah dalil.
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu juga mencontohkan kepada kita bagaimana menundukkan akal untuk ikut dalil. Beliau menyatakan:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Kalau seandainya agama itu patokannya dengan ra’yu (akal), niscaya bagian bawah khuf (sandal/ sepatu) lebih berhak diusap dibandingkan bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengusap bagian atas khufnya (riwayat Abu Dawud, dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Kalau seandainya patokan agama Islam bukan dalil, tapi dengan akal, niscaya mengusap khuf harusnya bagian bawahnya, bukan bagian atas. Karena bagian bawah lebih dominan terkena kotoran karena bersentuhan langsung dengan tanah. Sedangkan secara akal, tujuan mengusap khuf adalah untuk membersihkan. Namun karena dalil dari Nabi tidak demikian, maka akal ditundukkan harus patuh dan nurut mengikuti dalil. Mengusap khuf saat wudhu adalah pada bagian atasnya.
Perasaan juga tidak boleh dikedepankan dalam menjalankan Dien ini. Perasaan tidak enak, perasaan sungkan, perasaan takut, perasaan kasihan, dan sejenisnya, harus dikalahkan untuk menerapkan dalil.
Kalau sudah jelas terbukti bahwa seorang laki-laki atau wanita berzina dan mereka belum pernah menikah, sudah sampai berita kepada Waliyyul Amri (pemerintah muslim) dan ditegakkan hukum Islam kepada mereka dengan didera/ dicambuk 100 kali, maka jangan kedepankan perasaan: Waduh kasihan ya. Sebaiknya jangan dihukum saja.
Jangan kedepankan perasaan dalam agama Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ 
Wanita pezina dan laki-laki pezina (yang belum pernah menikah), cambuklah masing-masing dari keduanya 100 kali. Jangan timbul belas kasihan kepada keduanya dalam agama Allah. Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaknya hukuman tersebut disaksikan oleh sekelompok orang beriman (Q.S anNuur ayat 2)
Kalau sudah jelas dalilnya bahwa itu haram, bahwa itu bid’ah, bahwa itu syirik, maka buang perasaan-perasaan yang akan menghambat kita untuk menghindarinya.
“Iya memang ini bid’ah dan sudah jelas, tapi bagaimana ya, apa kata orang nanti kalau saya tidak ikut”.
“Iya, memang kelompok itu sesat. Saya tahu sendiri kesesatannya. Tapi bagaimana ya. Saya ndak enak kalau harus berpisah dengan teman-teman yang sudah lama akrab dengan saya dan banyak berbuat baik pada saya”.
Itu beberapa contoh, perasaan lebih dominan dan akan mengalahkan dalil yang sudah diketahuinya. Bukannya perasaan ditundukkan untuk ikut dalil, tapi dalil dipaksa untuk memaklumi perasaannya.
Abu Tholib dalam hatinya sudah sangat yakin bahwa ajaran keponakannya, Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah benar, tapi karena perasaan ‘nggak enak omongan orang’ akhirnya ia tetap berada dalam kekafiran. Ia takut, “apa kata orang-orang Quraisy nanti kalau saya ikut ajaran keponakan saya dan meninggalkan agama ayah saya”. Begitu seterusnya, hingga saat akan meninggal dunia Abu Tholib ditalqin, didikte untuk membaca Laa Ilaaha Illallah oleh Nabi, tapi karena pada saat yang bersamaan di sisi dia ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah yang terus mengatakan: Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muthholib?!
Abu Tholib sungkan dan nggak enak, mengedepankan perasaannya, hingga akhirnya meninggal dalam kekafiran. Padahal sudah jelas-jelas ia yakin Laa Ilaaha Illallah itu benar. Tapi karena perasaan nggak enak, takut omongan orang, maka ia meninggal dalam keadaan kafir. Subhaanallah, sungguh kerugian yang nyata akibat mengedepankan perasaan dalam beragama.
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mampu menundukkan akal dan perasaan kita agar patuh kepada al-Quran dan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam.
(Abu Utsman Kharisman)
Sumber : WA al-I’tishom

Apakah anak-anak orang kafir masuk surga?

Apakah anak-anak orang kafir masuk surga?

Pertanyaan :
Pertanyaan lainnya dari mereka berdua, mereka berdua berkata :
“Dimana tempat kembali anak-anak kecilnya orang-orang musyrik atau (anak-anak kecilnya) orang-orang kafir yang meninggal dunia? Apakah mereka di neraka ataukah di surga?
Jawaban :
Syaikh (Al-Utsaimin menjawab)
“Anak-anak kecilnya orang-orang musyrik atau (anak-anak kecilnya) orang-orang kafir, apabila  ibu dan bapaknya kedua-duanya kafir, maka sesungguhnya mereka ini, anak-anak kecil tersebut, dihukumi sebagai orang kafir (juga) di dunia; sehingga mereka tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikubur dipekuburan kaum muslimin. Adapun di akhirat, maka yang paling shahih diantara pendapat para ahli ilmu (ulama) dalam masalah itu adalah bahwa mereka tidak diketahui tempat kembalinya, dan bahwasanya pengetahuan tentang mereka dikembalikan kepada Allah ‘azza wa jalla, karena mereka nanti diuji di hari kiamat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla. Maka apabila mereka menuruti (perintah Allah) dan ta’at, niscaya masuk surga, dan jika tidak maka mereka di neraka.
Sumber : Silsilah fatawa nur ‘alad darb > kaset nomor [97]